“Ilaa Hadhratin Nabiyil mushthafaa shallallaahu ‘alaihi wasallam wa aalihii wa ash-haabihi ajma’iina syai`un lillaahi lahum, Al-Faatihah”
Artinya, Kepada Nabi Mushtofa, Shollallohu ‘alaihi wasalam, keluarganya dan para sahabatnya semuanya karena Alloh, bagi mereka Al-Faatihah.
Contoh kasus : Ada yang mengatakan “Saya dulu sering memimpin tahlilan dan saya gunakan kalimat tersebut ketika ingin mengirimkan pahala fatihah untuk Nabi dan para sahabatnya. Saya dulu diajari begini, “Sekalipun kita tidak punya pahala banyak dan banyak orang diantara kita yang masih sering ikut main togel (salah satu nama judi) plus banyak dosanya, tetap merasa perlu untuk menghadiahkan pahalanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasalam.”
Komentar penulis: Rosululloh, kalau boleh diibaratkan, layaknya seorang milyarder, yang punya harta banyak. Layakkah orang-orang miskin lagi fakir memberikan harta kepada beliau? Anehnya, kita yang krisis pahala dan banyak dosa ini malah mengirimkan pahala kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wasalam. Apakah kita merasa benar dengan mengamalkan hal tersebut? Tidak ada alasan untuk membenarkan amalan tersebut. Dari sisi syari’at tidak ada secuilpun dalil yang membenarkannya. Secara rasionalpun menghadiahkan pahala tidaklah pas.
Ada yang berkilah bahwa Rosululloh itu diibaratkan sebagai gelas yang penuh, bila dipenuhi terus akan mengalirkan airnya atau menumpahkannya kepada kita.
Saya katakan, gelas yang sudah penuh tidak perlu dipenuhi lagi karena nantinya akan tumpah dan meluber kemana-mana sehingga hal ini merupakan perbuatan israf (sia-sia dan pemborosan). Mestinya kita cari bejana kosong lainnya yang butuh untuk diisi. Sungguhpun demikian, amalan kirim pahala fatihah tidak diperbolehkan. Tidak ada satupun riwayat, baik yang dha`if apalagi yang shahih yang menerangkan kepada kita bahwa para sahabat rodhiyallohu ‘anhum mengamalkan amalan ini. Para sahabat tidak pernah mengirimkan pahala bacaan fatihah ataupun bacaan surat yang lainnya.
Lalu apa dalil yang mereka pergunakan untuk mendukung amalan ini selain hanya anggapan baik saja? “Ah, itu kan baik. Membaca Al-Qur’an kok dilarang?” Sekiranya amalan ini baik, tentu para sahabat akan mengamalkannya. Anggapan baik semata tidak bisa melegalkan atau menjadikan benar sebuah amalan. Inilah prinsip Ahlussunnah, sebagaimana Rosululloh bersabda, “Orang yang terbaik diantara kalian adalah pada masaku (para sahabat Nabi), kemudian generasi yang setelahnya, kemudian generasi yang setelahnya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Jika para sahabat saja tidak mengamalkannya, lantas kenapa kita mengamalkannya? Apakah kita merasa lebih baik dan lebih mendapat petunjuk melebihi kebaikan dan hidayah yang diberikan kepada para sahabat? Oleh karena itu kita tidak mengamalkan amalan kirim pahala bacaan Al-Qur’an disebabkan amalan ini merupakan amalan yang tidak dituntunkan dalam Islam, tidak dituntunkan oleh Rosululloh, para sahabat nabi, para tabi’in dan atba’ at-tabi’in dan generasi Islam yang utama. Jika demikian, orang-orang yang mengamalkan amalan ini mencontoh tuntunan siapa? Maka, orang-orang yang mengamalkan amalan mengirimkan pahala bacaan Al-Qur’an telah melanggar tuntunan Nabi. Bagaimana melanggarnya? Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengamalkan amalan ini, lalu dating generasi belakangan yang mengamalkan amalan ini. Maka, orang-orang ini telah mengamalkan suatu amalan yang tidak pernah dituntunkan oleh Rosululloh dan para sahabatnya. Bukankah perbuatan semacam ini adalah bentuk pembangkangan kepada Rosululloh dan menyelisihi beliau? Jawabnya adalah YA.
Rosululloh bersabda, “Apa yang telah aku larang, maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan, kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya umat terdahulu telah binasa karena banyak bertanya dan menyelisihi nabi mereka.” (HR. Muslim)
Alloh juga berfirman, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Amalan yang dituntunkan Islam kepada Nabi adalah membaca shalawat kepada beliau, bukan mengirimkan pahala bacaan fatihah. Sebagaimana Alloh berfirman, “Sesungguhnya Alloh dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Kirim Al-Fatihah kepada Malaikat adalah sebuah lelucon dan perbuatan bodoh
Dalam rangkaian amalan kirim bacaan fatihah pada acara tahlilan, selamatan, ritual mendapatkan ilmu ghoib dan kesaktian dan yang semacamnya kita akan menjumpai adanya amalan kirim fatihah untuk malaikat. Diantara kalimat yang diucapkan oleh orang-orang yang gemar yasinan, tahlilan selamatan, ritual mendapatkan ilmu ghoib dan kesaktian dan yang semacamnya dan kirim fatihah adalah “Wa ilaa jamii’i malaaikatillaahil muqorrobiin,” (Dan kepada seluruh malaikat Alloh yang dekat dengan-Nya).
Manusia yang mengirimkan pahala bacaan Al-Fatihah kepada malaikat itu mestinya mau mengaca terlebih dahulu, siapakah yang lebih membutuhkan pahala bacaan itu? Dirinya atau para malaikat? Demikian juga, sebelum mereka mengamalkan amalan kirim pahala bacaan Al-Fatihah ini hendaknya mereka bertanya terlebih dahulu, adakah amalan ini dituntunkan oleh Rosululloh.
Malaikat adalah makhluk Alloh yang mulia yang tidak pernah berbuat maksiat kepada-Nya. Alloh berfirman mengenai malaikat, “Penjaganya (yakni neraka) adalah para malaikat yang kasar lagi keras yang tidak bermaksiat terhadap apa-apa yang diperintahkan kepada mereka. Dan mereka senantiasa mengerjakan apa-apa yang diperintahkan (oleh Alloh)” (QS. At-Tahrim: 6)
Jika demikian keadaan malaikat sebagaimana yang diceritakan oleh Alloh, lantas masih pantaskah kita mengirimkan pahala bacaan fatihah kepada mereka? Para malaikat itu tidak membutuhkan kiriman pahala dari kita karena mereka adalah makhluk yang disucikan oleh Alloh dari maksiat. Oleh karena itu, mengirimkan pahala fatihah kepada malaikat merupakan lelucon dan tindakan bodoh sebagaimana juga tindakan kirim pahala fatihah untuk Rosululloh juga merupakan lelucon dan tindakan bodoh.
Lalu, amalan apa yang boleh kita lakukan? Diantara amalan yang disyari’atkan kepada malaikat adalah kita mengucapkan salam kepada mereka sebagaimana salam yang kita baca ketika duduk tasyahud yang berbunyi, “Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish sholihiin” (Semoga keselamatan menyertai kita dan para hamba Alloh yang sholih).
Ketahuilah, para malaikat adalah hamba Alloh yang sholih. Maka, para malaikat juga tercakup dalam salam yang kita baca pada doa tasyahud. Disadari atau tidak, ketika kita membaca doa tasyahud ini, kita telah mendoakan keselamatan kepada diri kita sendiri dan para hamba Alloh yang sholih,yakni seluruh hamba Alloh yang memiliki kesholihan yang meliputi Nabi dan Rasul, para malaikat, dan orang-orang sholih, baik yang telah wafat maupun yang masih hidup. Seluruhnya mendapatkan keutamaan doa ini.
Kirim Al-Fatihah kepada Wali Allah atau orang sholeh adalah sebuah tawasul bid’ah
Sebuah contoh faktual. Ketika seseorang ingin hajadnya diikabulkan setelah mengirim alfatihah kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani sering bertawasul dengan ucapan, “Aku memohon kepada Allah dengan kemuliaan dan karamah Syaikh Abdul Qadir Jailani.” Ucapan seperti ini lambat atau cepat akan membuat hati seseorang mengagungkan Syaikh Abdul Qadir Jailani. Mereka akan merasa takut kepada arwah Syaikh Jailani, sangat berharap kepadanya, takut sial karenanya, memuja dirinya, senang mendengar cerita-cerita fantastik tentangnya, dan lain-lain. Hal itu banyak terjadi di kalangan masyarakat awam. Fakta di lapangan, mereka sering menempelkan gambar yang diklaim sebagai Syaikh Abdul Qadur Jailani di dinding dan para pencari ilmu ghoib dan klenik juga sering mengirim Al-Fatihah dan meminta kesaktian pada Syaikh Abdul Qadir Jailani.
Allah Ta’ala memperingatkan orang-orang yang berdoa kepada Nabi, orang shalih, Malaikat, ulama, dan lainnya. Atau menjadikan mereka sebagai wasilah (perantara) pengabulan doa. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Orang-orang yang mereka berdoa kepadanya (kepada Nabi, orang shalih, Malaikat, dan lainnya), mereka sendiri mencari wasilah kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang paling dekat (kepada-Nya); mereka mengharapkan rahmat-Nya, dan mereka takut kepada adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (Al Israa’: 57).
Oleh karena itu, hendaknya kita dalam beramal tidak taklid buta sehingga kita mengamalkan amalan-amalan yang salah, bahkan terhitung amalan konyol dan bodoh semacam amalan kirim pahala bacaan fatihah ini. Sudah sepantasnya kita mengoreksi setiap amalan kita, sudahkah amalan yang kita amalkan selama ini telah benar dan sesuai dengan tuntunan Rosululloh? Jika sesuai, maka Alhamdulillaah, teruskan dan tingkatkan. Adapun jika tidak sesuai, maka sudah semestinya kita berlapang dada untuk meninggalkannya, meski banyak orang yang mengerjakannya. Ketahuilah, banyaknya orang yang mengamalkan bukanlah patokan benarnya suatu amalan. Benarnya amalan hanya diukur dari amalan Rosululloh dan para sahabatnya, kita mengikuti apa yang beliau dan para sahabatnya amalkan dan tidak mengamalkan apa yang tidak beliau dan para sahabatnya amalkan.
Amalan kirim pahala hanyalah sebuah amalan yang kita dapatkan turun temurun dari orangtua kita, dari kakek nenek kita, tanpa kita ketahui sudah benarkah amalan ini. Demikian juga, jika ada seseorang yang memperingatkan kita tentang salahnya amalan kita yang mana orang itu mengoreksi amalan kita yang salah dengan membawakan keterangan yang shohih dan argumentasi yang kuat, maka tidak selayaknya kita menuduhnya dengan tuduhan-tuduhan yang buruk. Mestinya kita berterima kasih kepadanya karena telah menasehati kita dan berusaha untuk meluruskan kesalahan kita.
Diantara ucapan-ucapan buruk yang sering kita lontarkan kepada orang-orang yang mengingatkan tentang salahnya amalan kita adalah, “Ah, kamu jangan sok benar sendiri. Masak membaca Al-Qur’an kok dilarang?” atau, “Lha klo begitu, para kyai yang mengamalkannya salah donk, lalu kamu yang benar?” atau ucapan-ucapan lainnya yang semisal dengan ini. Sungguh, ucapan seperti ini tidak layak keluar dari lisan seorang muslim ketika mendapatkan nasehat dari saudaranya. Allohua’lam.
artikel yg baik tp memerlukan pemikiran yg mendalam
ReplyDeleteSepertinya terlalu banyak versi yang tersohor dikalangan masyarakat, mengenai Pengamalan Ilmu maupun mengenai Tawasul, seperti- mengenai :
ReplyDeleteSyeikh Abdul Qodir Al-Jaelani
Pernah berujar, “Bila aku mati kelak, ruhku akan terus hadir di sela orang-orang yang setiap malamnya mengistiqomahkan, bertawassul
kepadaku dengan keikhlasannya, sambil tak pernah henti-hentinya membaca surat Al-fatihah sebanyak 20.000 kali setiap malamnya”.
Pertanyaan'nya : Benarkah seorang Syeikh berkata seolah beliau yang memutuskan segala hal diduniawi ?
Apakah para murid beliau (Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani), terdahulu sesungguhnya yang telah salah memahami maksud dari sebuah perkataan"nya. Sehingga beredarnya turun menurun perkataan yang selalu menurut beliau Syeikh AQ A-J?
Dan mengenai Tawasul (perantara), terlalu banyak ucapan yang terlontar menurut "si-ini dan si-itu".
Namun yang perlu menjadi pendalaman kita dalam memahami suatu hal, sebelum menjadi sebuah kesimpulan,, semua pendapat harus serta merta berdasarkan dalil dan landasan yang cukup kuat dari Al"Quran dan hadist. Prajaclass-Wassalam..