Hasan Al-Jaizy
Saya tidak berprofesi sebagai peruqyah, dan tidak berharap juga. Tapi, jika ada beberapa ikhwan yang lebih dominan pekerjaannya sebagai peruqyah, setelah melihat berbagai kasus, saya sangat yakin mereka dibutuhkan. Bahkan sangat dibutuhkan oleh keumuman.
Dan ada rasa heran juga dengan mereka yang mengatakan 'yang makshum kalamnya adalah Rasul' tapi memforsir orang untuk ikut kalam/fatwa ulamanya. Kalau kita tidak ikut sependapat persis dengannya, maka akan disangka sombong terhadap ulama.
Soalan dan fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan berkaitan 'profesi sebagai peruqyah', misalnya. Kalau menelaah jawaban beliau, jawabannya tidak menyorot peruqyah tanah air yang saya pribadi kenal. Tapi sebagian ikhwah menyorot mereka dengan fatwa itu. Seolah sifat buruk yang ditahdzir oleh sang Syaikh ada pada mereka.
Juga, apa semua bisa disamakan antara Saudi dengan Indonesia?
Hitung sendiri kasus teluh, pengasihan, santet, dan seterusnya di tanah air kita ini seberapa. Dan hitung kasus-kasus di atas seberapa banyak di Saudi. Tidak bisa disamakan.
Kalam ini datang dari seorang yang tidak berprofesi sebagai peruqyah. Datang dari yang setiap hari mencoba mencari ilmu. Sekarang, kita melihat ada beberapa ikhwan 'lagaknya' punya ilmu sampai menantang-nantang soal ilmu, padahal terlihat jelas adab yang miskin dan mencerminkan ilmu yang sedikit sekali. Dan terlihat tidak konsen dalam ilmu pula.
Giliran orang 'awam' mengikuti fatwa kyainya, kita sebut dia 'muqallid' dan 'bertuhan dengan kyainya'.
Giliran orang 'udah ngaji' dan 'udah dapat hidayah' seperti kita menjadikan fatwa satu ulama sebagai rujukan, tidak ada yang boleh menyelisihi, bahkan walau jawaban ulama tersebut kurang tepat untuk daerah kita pun, harus dipaksakan untuk diikuti.
Saya tidak berprofesi sebagai peruqyah, dan tidak berharap juga. Tapi, jika ada beberapa ikhwan yang lebih dominan pekerjaannya sebagai peruqyah, setelah melihat berbagai kasus, saya sangat yakin mereka dibutuhkan. Bahkan sangat dibutuhkan oleh keumuman.
Dan ada rasa heran juga dengan mereka yang mengatakan 'yang makshum kalamnya adalah Rasul' tapi memforsir orang untuk ikut kalam/fatwa ulamanya. Kalau kita tidak ikut sependapat persis dengannya, maka akan disangka sombong terhadap ulama.
Soalan dan fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan berkaitan 'profesi sebagai peruqyah', misalnya. Kalau menelaah jawaban beliau, jawabannya tidak menyorot peruqyah tanah air yang saya pribadi kenal. Tapi sebagian ikhwah menyorot mereka dengan fatwa itu. Seolah sifat buruk yang ditahdzir oleh sang Syaikh ada pada mereka.
Juga, apa semua bisa disamakan antara Saudi dengan Indonesia?
Hitung sendiri kasus teluh, pengasihan, santet, dan seterusnya di tanah air kita ini seberapa. Dan hitung kasus-kasus di atas seberapa banyak di Saudi. Tidak bisa disamakan.
Kalam ini datang dari seorang yang tidak berprofesi sebagai peruqyah. Datang dari yang setiap hari mencoba mencari ilmu. Sekarang, kita melihat ada beberapa ikhwan 'lagaknya' punya ilmu sampai menantang-nantang soal ilmu, padahal terlihat jelas adab yang miskin dan mencerminkan ilmu yang sedikit sekali. Dan terlihat tidak konsen dalam ilmu pula.
Giliran orang 'awam' mengikuti fatwa kyainya, kita sebut dia 'muqallid' dan 'bertuhan dengan kyainya'.
Giliran orang 'udah ngaji' dan 'udah dapat hidayah' seperti kita menjadikan fatwa satu ulama sebagai rujukan, tidak ada yang boleh menyelisihi, bahkan walau jawaban ulama tersebut kurang tepat untuk daerah kita pun, harus dipaksakan untuk diikuti.
0 comments:
Post a Comment